google.com, pub-5346884408791712, DIRECT, f08c47fec0942fa0

IM3 Jadi Senjata Digital, ‘Ayam Geprek Si Hakim’ Rebut Pasar Kuliner di Bogor

BERITA1BOGOR – Di sebuah sudut Jalan Perdana Raya, Budi Agung, Tanah Sareal, Kota Bogor, asap dari wajan panas hampir selalu tampak menari setiap hari. Aroma cabai yang dimasak lalu di ulek menyergap siapa saja yang melintas.

Di balik lapak sederhana bertuliskan ‘Ayam Geprek Si Hakim’, berdirilah sosok anak muda berusia 24 tahun yang senyumnya tak pernah lelah menyapa pelanggan. Ya, dia adalah Hakim Marantika.

Hakim, pemuda kelahiran Palembang, 12 Mei 2002, bukanlah tipe anak muda yang sejak awal bercita-cita menjadi wirausahawan. Pria lulusan SMA swasta di Palembang, sejak merantau mau bekerja apa saja.

Dua tahun menjadi karyawan di gerai makanan cepat saji memberi bekal (keahlian) soal bagaimana mengolah ayam goreng yang renyah.

Sementara satu tahun menjadi office boy (OB) di Jakarta mengajarkannya arti kerja keras dari titik paling dasar.

Namun, ada satu hal yang tak pernah hilang dari benaknya yaitu keinginan membuka usaha sendiri.

Hakim mengaku titik baliknya justru datang dari rasa jenuh yang memuncak.

“Kerja sama orang terus rasanya jenuh dan gak akan maju,” ujar Hakim kepada media ini pada Rabu, 19 November 2025 .

Di tengah kejenuhan itu, Hakim mulai mempertimbangkan usaha sendiri. Ide belum juga muncul, hingga percakapan santai dengan sang kakak yakni Febri Ayu Wulandari yang mengubah segalanya.

“Kau kan jago bikin ayam. Kenapa gak buka ayam geprek aja?” saran Febri kepada Hakim.

Kalimat sederhana itu menancap kuat. Hakim mulai membayangkan wajan, sambal, dan penggorengan (hal-hal yang akrab di tangannya). Dari situlah benang rencana mulai dijalin.

Sebelum membuka lapak ‘Ayam Geprek Si Hakim’, Hakim memilih langkah yang tidak gegabah. Sebagai langkah awal, ia mulai membuka pre-order (PO) dari tempat tinggalnya di kawasan Kencana, Kayu Manis, Tanah Sareal, Kota Bogor.

Promosinya saat itu hanya lewat sosial media (Facebook). Semua berjalan melalui ponselnya dengan memanfaatkan konektivitas jaringan IM3, dan hasilnya di luar dugaan.

“Dalam sehari bisa menjual hingga 30 potong ayam,” kata Hakim.

Komentar pelanggan pun positif. “Pedasnya pas, ayamnya renyah, sambalnya nagih,” begitu kira-kira komentarnya.

Open PO itu hanya berlangsung satu minggu (bukan karena sepi), melainkan karena tingginya minat pelanggan yang membuat Hakim yakin naik level (buka lapak).

Dengan modal sekitar Rp10 juta, ia akhirnya cari tempat untuk disewa, beli wajan, beli kompor, serta perlengkapan lainnya, sebelum resmi membuka lapak pertamanya di Jalan Perdana Raya.

Saat buka, bulan pertama menjadi bulan yang paling berat, meskipun sudah ada pelanggan pada saat open PO tadi. Tapi ya begitulah, dunia usaha memang tak selalu ramah pada langkah awal yang sudah dimulainya itu.

 

Hari-hari pertama justru menjadi fase paling menantang. Dari target 30 potong per hari, ia hanya mampu menjual dibawah 15 potong saja. Padahal lokasinya strategis, dekat dengan kampus dan rumah sakit.

Ada hari ketika ayam tak habis, Hakim menolak menjual ulang ayam geprek tersebut. Namun, ia lebih memilih membagikannya kepada orang-orang yang ada di pinggir jalan sekitar.

“Rasanya beda kalau dipanasin. Saya gak mau pelanggan kecewa,” ucapnya pelan.

Ketika ditanya bagaimana ia bertahan di bulan tersulit itu, jawabannya sederhana tapi penuh makna.

“Menghela napas saja (sabar) dan terus dijalani saja,” katanya.

Memasuki bulan kedua, perlahan ritme usahanya berubah. Hakim mulai lebih akrab dengan pelanggan, mengobrol, meminta ulasan jujur, dan menunjukkan keramahan yang menjadi ciri khasnya. Ternyata di sinilah kekuatan terbesarnya (modal ekstrovert).

Pelayanan yang ramah membuat pelanggan merasa dekat. Mulut ke mulut bekerja lebih cepat daripada iklan. Penjualan naik menjadi 35 potong per hari, kemudian meningkat stabil di bulan-bulan berikutnya.

Pada bulan ketiga, ia kembali mulai mengembangkan bisnisnya melalui layanan digital dan platform pemesanan online, karena menurutnya peran internet sangat penting dalam menjalankan sebuah perjalanan bisnis.

“Dari penjualan online, alhamdulillah pernah sampai 100 porsi untuk Jumat Berkah,” tuturnya.

Setelah melewati bulan tiga, Hakim merasa bahwa usaha ayam geprek nya mulai stabil dan membuka pintu harapan baru. Dan benar saja, hingga tujuh bulan berjalan (saat ini), ‘Ayam Geprek Si Hakim’ mampu menjual hingga 70 potong ayam per hari (belum termasuk pesanan online).

Penghasilan bersih hariannya mencapai lebih dari Rp500.000. Cukup bagi Hakim untuk merasakan bahwa perjuangannya mulai berbuah.

Menaklukkan Tantangan Dunia Digital

Dunia digital bukanlah ruang yang sepenuhnya mudah untuk ia jelajahi. Hakim mengaku, bahwa pada mulanya ia cukup kesulitan memahami cara kerja dan strategi penggunaan media sosial sebagai alat pemasaran.

“Tahap awal yang harus saya lakukan adalah beralih dari pola usaha yang sepenuhnya offline menjadi online. Namun perlahan, seiring bertambahnya pengalaman, saya mulai memahami bagaimana memanfaatkan berbagai layanan digital untuk mendorong pertumbuhan usaha,” tuturnya. Sembari berbicara, Hakim menunjukkan kartu provider IM3 yang selama ini menjadi andalan dalam menjaga kelancaran konektivitas dan mendukung setiap transaksi digital yang ia lakukan.

Usaha Hakim yang masuk dalam kategori UMKM kecil dengan napas besar, kini lapaknya semakin ramai. Pelanggan datang silih berganti, sebagian ada yang datang melalui layanan online, sebagian diantar oleh aroma sambal yang menyengat, sebagian lagi karena keramahan sang pemilik.

(Erk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *